Kaum Wanita dalam Dunia Diplomasi: Di Balik Sejarah Perjuangan Perempuan Joseon Menuju Cahaya - HALLYU STORY - One-stop Fun and Readable Contents for Millennials who Enjoy All About Korea

Hottest

Post Top Ad

Post Top Ad

Beriklan di Sini

Minggu, April 14

Kaum Wanita dalam Dunia Diplomasi: Di Balik Sejarah Perjuangan Perempuan Joseon Menuju Cahaya

Bagaimana sejarah perjuangan perempuan Joseon untuk mendapatkan kesetaraan status agar sama dengan pria? © via Majalah KOREANA


Tahun 2019 menjadi tahun penuh cahaya bagi Korea Selatan, di mana dunia baru penuh dengan modernisasi yang selama ini diimpikan warganya telah di depan mata.

Kehidupan sosok perempuan di zaman serba modern saat ini juga telah berbeda jauh dibandingkan zaman dulu, di mana hidup sebagai perempuan penuh dengan kekangan dan terbelenggu adat istiadat. Hal ini pula yang menjadikan perempuan pada saat itu terdiskriminasi.

Nggak mudah juga perjuangan para perempuan saat itu untuk mendapatkan statusnya yang sama dengan pria. Perjalanan panjang mereka lewati, bahkan hingga berujung dengan nasib tragis.


Perjuangan Perempuan Joseon


Era Joseon dimulai pada tahun 1392-1910. Menurut Han Hee Sook, seorang profesor dari Jurusan Sejarah Korea di Sookmyung Women's University dalam jurnalnya menyebutkan, perempuan Joseon pun dibagi menjadi empat klasifikasi, pertama perempuan yang berasal dari royal family, seperti ratu dan selir raja.




Anggota keluarga dari kelas yangban yang terdiri dari keluarga baik-baik, rakyat jelata, perempuan dengan profesi spesial yakni perempuan kerajaan, penghibur, shaman dan fisikawan, dan yang terakhir yakni perempuan dari kelas bawah yakni budak yangban.

Perempuan ingin menikmati pendidikan di era dinasti Joseon © Sekolah Menengah Perempuan Speer Gwangju via Majalah KOREANA


Saat dinasti Joseon, nggak heran bagi seorang perempuan yang segala aktivitasnya harus dibatasi. Perempuan Joseon tak diizinkan keluar sendiri. Untuk bersekolah saja, perempuan merupakan sekelompok minoritas. Tak banyak yang bisa menikmati pendidikan yang layak saat itu.

Seperti yang ada dalam Mister Sunshine, drama tersebut mengangkat soal kehidupan dalam era Josen di awal abad 20. Hingga tahun 1910-an, peluang pendidikan bagi perempuan sangat sedikit dan jarang. Untuk mendapatkan kebebasan, perempuan Joseon harus berhadapan dengan banyak kritik hingga mengakibatkan frustasi bagi hidup mereka. Bagaimana mereka melewati masa-masa ini dalam hidupnya hingga pada akhirnya bisa memiliki status "perempuan baru" di era modern?

Sekolah Perempuan Pertama di Korea


Seperti yang dilansir oleh majalah Koreana yang diterbitkan pada musim semi 2019 dalam judulnya "Kesadaran Perempuan: Cahaya dan Kegelapan" dalam fitur Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad ke-20 disebutkan, lembaga pendidikan perempuan modern pertama di Korea didirikan pada tahun 1886. Sekolah yang terletak di Jeongdong, Seoul, tersebut diberinama Sekolah Ewha.

Meski begitu, hingga tahun 1910 bukanlah hal yang mudah bagi sekolah tersebut untuk mengumpulkan murid. Demi mendapatkan murid, guru-guru sekolah Ewha rela mengunjungi rumah demi rumah sambil memohon agar mau disekolahkan.

"Jika ada anak atau saudara perempuan, tolong disekolahkan. Kami akan mengajari mereka secara gratis," seperti itu kalimat yang keluar dari mulut dari guru sekolah Ewha saat itu.

Ewha merupakan sekolah perempuan pertama di Korea © via Majalah KOREANA


Keterlibatan beberapa siswi sekolah Ewha dalam pergerakan kemerdekaan pada 1 Maret 1919 membuat perubahan. Banyak perempuan yang akhirnya mendaftarkan diri menjadi siswi di sekolah tersebut, hingga sekolah pun tak mampu menampung jumlah siswi.

Meski begitu, bukan berarti hal ini merupakan perubahan yang signifikan. Menurut data statistik Pemerintah Jepang di Korea, jumlah siswi Sekolah Menengah Pertama dari total 7 sekolah negeri dan swasta pada tahun 1923 adalah 1370 orang. Angka ini merupakan 0,6% dari total penduduk perempuan ketika itu. Sedangkan jumlah siswi yang mendapat pendidikan di atas Sekolah Menengah Pertama hanya sebesar 0,3%.

Bagi warga Korea saat itu, pelajar perempuan adalah simbol kemodernan sekaligus representasi modern palsu yang gegabah dan kurang terdidik yang berbahaya dan tidak mulia.

Style hingga Tren Para "Perempuan Baru"


Status perempuan Joseon sebagai seorang siswi pun membuat perempuan dipandang berbeda dan mendapat perhatian istimewa dari kota. Penampilan mereka pun mulai menunjukkan identitas mereka dengan rok pendek dan sepatu berhak tinggi. Payung hitam dan gaya rambut juga menjadi tren saat itu.




Payung hitam ini awal mulanya digunakan untuk pengganti rok kerudung untuk menutupi wajah. Namun semakin hari warnanya berganti menjadi putih. Fungsinya pun menjadi pelengkap busana.

Bagaimana dengan Hanbok (pakaian tradisional Korea)? Para "perempuan baru" ini tetap menggunakan hanbok hanya saja mereka potong menjadi rok kembang hitam pendek sampai betis untuk menjaga kebersihan dan mempermudah aktivitas.

Atasan Hanbok yang berwarna putih juga menjadi seragam sebagian besar sekolah, termasuk Sekolah Ehwa dan Sekolah Perempuan Jeongsin.

Penampilan perempuan Korea di tahun 1937 setelah menempuh pendidikan menjadi lebih modern © via Majalah KOREANA


Tak hanya itu saja, para "perempuan baru" juga menunjukkan kelas dan status sosial mereka dari sepatu, kaos kaki, ikat pinggang, syal, saputangan, kacamatam, dan aksesoris.

Gaya rambut mereka pun juga berubah-ubah untuk menentukan tolak ukur penting sebagai perempuan baru. Mulai dari gaya rambut hisashigami ala Jepang yang dikenal sebagai gaya rambut kotoran sapi karena diikat bulat di belakang kepala setelah mengembungkan tepi kepala seperti kotoran sapi. Kemudian ada juga sanggul kepang, rambut palsu atau yang juga disebut darikkokji hingga gaya rambut pendek sebagai tanda kebebasan perempuan.

Tak terlewat pula rok kembang dan sepatu lancip yang nyatanya nggak cuma sekadar hiasan, tapi sebagai bentuk representasi budaya yang menampung harapan para "perempuan baru" yang ingin menjalin kasih atas kemauannya sendiri, membangun keluarga modern di rumah yang berlengkapan piano, mendapat hak sejajar dengan suami, dan mendidik generasi mendatang dengan pemikiran baru.

Perempuan Korea di Era Modern


Seiring berjalannya waktu, di masa modern sekarang ini, perempuan telah menjadi sosok yang diperhatikan. Karya dan kontribusinya terhadap negaranya bahkan kehidupan bumi juga tak sedikit. Banyak dari mereka menjadi orang berpengaruh bagi banyak orang. Salah satu sosok perempuan modern adalah Menteri Luar Negeri Korea Selatan, Kang Kyung Wha.




Kang Kyung Wha bukan hanya sekadar menteri, ia adalah perempuan pertama yang dinominasikan dan ditunjuk oleh Korea sebagai Menteri Luar Negeri. Sebelum lulus dari Universitas Yonsei dan Universitas Massachusetts, perempuan yang lahir di Seoul ini merupakan lulusan SMA Ewha.

Menlu Kang Kyung Wha bersama dengan Menlu RI Retno Marsudi saat mengunjungi Indonesia © AntaraNews.com


Kang Kyung Wha menjadi perempuan Korea pertama yang memegang posisi tinggi di United Nations. Kang Kyung Wha juga merupakan Menteri Luar Negeri Korea pertama yang tergabung dalam delegasi resmi Korea Selatan di KTT untuk mengunjungi Pyongyang, Korea Utara.

Prestasi Kang Kyung Wha dalam dunia diplomasi di atas merupakan sebagian kecil yang telah ia capai sebagai seorang perempuan. Setelah Korea merdeka dan melewati bencara perang, inilah bukti bahwa perempuan Korea mencapai cahaya sebagai "perempuan baru" yang telah diimpikan berpuluh-puluh tahun lalu.



Sumber:
Women's Life During Joseon Dinasty, Han Hee Sook, International Journal of Korean History, 2004
KOREANA, Jalan Menuju Modernitas: Korea di Awal Abad ke-20, Musim Semi 2019 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad